20 September 2009

PEMANFAATAN MIKROBA DALAM BIOREMEDIASI

A. PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya bidang industri, senantiasa meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Namun di lain pihak, perkembangan industri memiliki dampak terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas limbah yang dihasilkan termasuk di dalamnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3 akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.
Pencemaran atau polusi bukanlah merupakan hal baru, bahkan tidak sedikit dari kita yang sudah memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh pencemaran atau polusi lingkungan terhadap kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. Polusi dapat didefinisikan sebagai kontaminasi lingkungan oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, kualitas kehidupan, dan juga fungsi alami dari ekosistem. Walaupun pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia yang notabenenya sebagai pengguna lingkungan adalah sangat dominan sebagai penyebabnya, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak.
Berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan, polutan digolongkan atas dua golongan:
1. Polutan yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan seperti sampah yang mudah terdegradasi di lingkungan. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
2. Polutan yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi (nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius.
Bahan polutan yang banyak dibuang ke lingkungan terdiri dari bahan pelarut (kloroform, karbontetraklorida), pestisida (DDT, lindane), herbisida (aroklor, antrazin, 2,4-D), fungisida (pentaklorofenol), insektisida (organofosfat), petrokimia (polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH], benzena, toluena, xilena), polychlorinated biphenyls (PCBs), logam berat, bahanbahan radioaktif, dan masih banyak lagi bahan berbahaya yang dibuang ke lingkungan, seperti yang tertera dalam lampiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Untuk mengatasi limbah (khususnya limbah B3) dapat digunakan metode biologis sebagai alternatif yang aman, karena polutan yang mudah terdegradasi dapat diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Cara biologis atau biodegradasi oleh mikroorganisme, merupakan salah satu cara yang tepat, efektif dan hampir tidak ada pengaruh sampingan pada lingkungan. Hal ini dikarenakan tidak menghasilkan racun ataupun blooming (peledakan jumlah bakteri). Mikroorganisme akan mati seiring dengan habisnya polutan dilokasi kontaminan tersebut.

B. BIOREMEDIASI

Bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti CO2, metan, air dan senyawa semula tersebut (Ciroreksoko, 1996). Sedangkan menurut Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat, biasanya sebagai kontaminan tanah, air dan sedimen.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun.
Keberhasilan proses bioremediasi harus didukung oleh disiplin ilmu lain seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia organik, biokimia, genetika molekuler, kimia air, kimia tanah, dan juga teknik. Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yis, dan alga. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang cukup kompleks. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi.
Terdapat perbedaan kecil antara pross pengolahan air limbah dengan proses bioremediasi dari bahan kimia berbahaya. Pada proses biologis, pengolahan limbah dikatalisis oleh proses kimia, sedangkan bioremediasi lebih rumit karena menggunakan katalisator (enzim) yang dikeluarkan oleh mikroorganisme untuk mengkatalisis penghancuran senyawa berbahaya yang spesifik.
Degradasi senyawa polutan selalu melibatkan transformasi struktur senyawa, sehingga terjadi perubahan integritas molecular polutan. Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangangbiakan mikroorganisme. Tidak terciptanya kondisi yang optimum akan mengakibatkan aktivitas degradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten di lingkungan.
Untuk mencapai kondisi yang optimum bagi degradasi polutan, maka teknik bioremediasi digunakan untuk memanipulasi sistem biologis sehingga akan terjadi perubahan-perubahan yang diinginkan di lingkungan. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan prinsip-prinsip biologis tentang degradasi senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi lingkungan terhadap mikroorganisme yang terkait dan reaksi-reaksi yang dikatalisnya.
Teknik bioremediasi menciptakan lingkungan yang terkontrol untuk memproduksi enzim yang sesuai bagi reaksi terkatalisis yang diinginkan. Kebutuhan dasar dari proses biologis yaitu :
1. Kehadiran mikroorganisme dengan kemampuan untuk mendegradasi senyawa target.
2. Keberadaan substrat yang dikenali dan dapat digunakan sebagai sumber energi dan karbon.
3. Adanya pengumpanan yang menyebabkan terjadinya sintesa spesifik untuk senyawa target.
4. Keberadaan sistem penerima-donor elektron yang sesuai.
5. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk reaksi terkatalisis enzim dengan kelembaban dan pH yang mendukung.
6. Ketersediaan nutrien untuk mendukung pertumbuhan sel mikroba dan produksi enzim.
7. Suhu yang mendukung aktivitas mikrobial dan reaksi terkatalisis.
8. Ketersediaan bahan atau substansi beracun terhadap mikroorganisme tersebut.
9. Kehadiran organisme untuk mendegradasi produk metabolit.
10. Kehadiran organisme untuk mencegah timbulnya racun antara.
11. Kondisi lingkungan yang meminimumkan organisme kompetitif bagi mikroorganisme pendegradasi.
Tanpa adanya enzim yang mengkatalis reaksi degradasi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan lama. Enzim mempercepat proses tersebut dengan cara menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi.
Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di lingkungan tidak akan berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan yang mati akan menutupi permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan pernah kita harapkan. Sebagai akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan akan terputus.
Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme, umumnya berlangsung melalui proses yang sama.

C. OPTIMALISASI KONDISI DALAM BIOREMEDIASI

Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon, perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang meliputi kondisi lingkungan, temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
1. Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient, enzm-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
2. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40oC. Ladislao, et. al. (2007) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38oC bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme pathogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
3. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak.
4. Nutrien
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolism sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
5. Interaksi antar Polusi
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energy yang dihasilkan.

D. BIOAUGMENTASI

Bioaugmentasi adalah penambahan organisme atau enzim pada suatu bahan untuk menyingkirkan bahan kimia yang tidak diinginkan. Bioaugmentasi digunakan untuk menyingkirkan produk sampingan dari bahan mentah dan polutan potensial dari limbah. Organisme yang biasa digunakan dalam proses ini adalah bakteri. Namun banyak aplikasi yang berhasil menggunakan tumbuhan untuk menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan bakteri pathogen. Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah phytoremediasi.
Pemilihan metode bioremediasi yang cocok dengan kondisi lingkungan diharapkan akan dapat meningkatkan kecepatan biodegradasi. Dua metode yang biasa dilakukan untuk bioremediasi adalah : (1) dengan menstimulasi populasi mikroorganisme eksogen (biostimulasi) dan (2) dengan menambahkan mikroorganisme eksogen (bioaugmentasi). Bioaugmentasi dipilih apabila kontaminan membutuhkan waktu degradasi yang lama, bila lingkungan yang tercemar sulit dimodifikasi dalam rangka mencapai kondisi optimal bagi pertumbuhan mikroorganisme, atau bila tingginya konsentrasi kontaminan menghambat pertumbuhan mikroorganisme indogenus. Bioaugmentasi juga dilakukan untuk menurunkan keragaman jalur degradasi hidrokarbon terutama untuk mempercepat proses degradasi hidrokarbon poliaromatik.
Keberhasilan aplikasi bioaugmentasi diukur dari peningkatan jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi serta daya tahan mikroorganisme eksogen pada lingkungan yang tercemar. Walter (1997) menyatakan bahwa untuk memperoleh strain mikroorganisme ataupun konsorsium mikroorganisme yang tepat bagi aplikasi bioaugmentasi ada tiga pilihan metode yang bisa dilakukan, yaitu : pengkayaan selektif, penggunaan produk mikroorganisme komersial atau rekayasa genetika.

DAFTAR PUSTAKA

Baldrian, P. (2003). Interaction of heavy metals with white-rot fungi, Enzyme and Microbial. Technol. 23: 79-91.
Cai, Q. Y., Ce-Hui Mo, Qi-Tang Wu, Qiao-Yun Zeng, Athanasios Katsoyiannis, Jean-Franc¸dan ois F´erard. 2007. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)-contaminated sewage sludge by different composting processes. Journal of Hazardous Materials vol 142 halaman 535–542
Cerniglia, C.E. and Sutherland, J.B. (2001). Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi in Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 136-187.
Ciroeksoko, P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Dalam Prosiding Pelatihan dan Lokakarya : Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. P. Citroeksoko, A. Setiana, M.A. Subroto dan D. T. Djaja (Edt). Cibinong, 24 – 28 Juni 1996.
Crawford, R. dan D. L. Crawford. 1996. Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. USA.
Juhasz, A. L dan Ravendra Naidu. 2000. Bioremediation of high molecular weight polycyclic aromatic hydrocarbons: a review of the microbial degradation of benzo[a]pyrene. International Biodeterioration & Biodegradation volume 45 halaman 57 – 88.
Ladislao, B. A., Angus J. Beck, Katarina Spanova, Joe Lopez-Real, Nicholas J. Russell. 2007. The influence of different temperature programmes on the bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in a coal-tar contaminated soil by in-vessel composting. Journal of Hazardous Materials volume 144 halaman 340–347.
Larsena, S. B., Dimitar Karakasheva, Irini Angelidaki, Jens Ejbye Schmidta. 2009. Ex-situ bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons in sewage sludge. Journal of Hazardous Materials volume 164 halaman 1568–1572
Mueller, J.G., Cerniglia, C.E., Pritchard, P.H. (1998). Bioremediation of environments contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbon. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 125-194.
Nathanson, Jerry. 1997. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste Management and Pollution Control. Prentice-Hall. New Jersey.
Roane, T.M., Pepper, I.L. and Miller, R.M. (1998). Microbial remediation of metals. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, pp. 312-340.
Rosenberg, E. and Ron, E.Z. (1998). Bioremediation of petroleum contamination. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, Cambridge University Press, Cambridge. pp. 100-124.
Sayer, J. and Gadd, G.M. (1997). Solubilization and transformation of insoluble inorganic metal compounds to insoluble metal oxalates by Aspergillus niger, Mycol. Res. 106: 653-661.
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2 Nomor 2, Januari 2006, Halaman 129 – 142.
Watanabe, Kazuya. 2001. Microorganisms relevant to bioremediation. Journal environmental biotechnology vol 12 halaman 237 – 241.
Walter, M. V. 1997. Bioaugmentation. Ch. 82 in Manual of Environmental Microbiology. Christon J. Hurst (Ed). ASM Press. Washington DC.

NB: Makalah Tugas Teknologi Pengolahan Limbah Padat & B3 (Pascasarjana TIP-IPB)

2 komentar:

Natasha Witto mengatakan...

thx banget, datanya membantu proyek gw! Boleh nanya bioremediasi pake yis itu biasanya berapa lama ya?
thx

Knowledge is Power mengatakan...

om ko di artikelnya ga ada keterangan referensinya ya, coba kalo ada lebih mantap....