20 September 2009

PEMANFAATAN MIKROBA DALAM BIOREMEDIASI

A. PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya bidang industri, senantiasa meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Namun di lain pihak, perkembangan industri memiliki dampak terhadap meningkatnya kuantitas dan kualitas limbah yang dihasilkan termasuk di dalamnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3 akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.
Pencemaran atau polusi bukanlah merupakan hal baru, bahkan tidak sedikit dari kita yang sudah memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh pencemaran atau polusi lingkungan terhadap kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. Polusi dapat didefinisikan sebagai kontaminasi lingkungan oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, kualitas kehidupan, dan juga fungsi alami dari ekosistem. Walaupun pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh proses alami, aktivitas manusia yang notabenenya sebagai pengguna lingkungan adalah sangat dominan sebagai penyebabnya, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak.
Berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan, polutan digolongkan atas dua golongan:
1. Polutan yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan seperti sampah yang mudah terdegradasi di lingkungan. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
2. Polutan yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi (nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius.
Bahan polutan yang banyak dibuang ke lingkungan terdiri dari bahan pelarut (kloroform, karbontetraklorida), pestisida (DDT, lindane), herbisida (aroklor, antrazin, 2,4-D), fungisida (pentaklorofenol), insektisida (organofosfat), petrokimia (polycyclic aromatic hydrocarbon [PAH], benzena, toluena, xilena), polychlorinated biphenyls (PCBs), logam berat, bahanbahan radioaktif, dan masih banyak lagi bahan berbahaya yang dibuang ke lingkungan, seperti yang tertera dalam lampiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Untuk mengatasi limbah (khususnya limbah B3) dapat digunakan metode biologis sebagai alternatif yang aman, karena polutan yang mudah terdegradasi dapat diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Cara biologis atau biodegradasi oleh mikroorganisme, merupakan salah satu cara yang tepat, efektif dan hampir tidak ada pengaruh sampingan pada lingkungan. Hal ini dikarenakan tidak menghasilkan racun ataupun blooming (peledakan jumlah bakteri). Mikroorganisme akan mati seiring dengan habisnya polutan dilokasi kontaminan tersebut.

B. BIOREMEDIASI

Bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti CO2, metan, air dan senyawa semula tersebut (Ciroreksoko, 1996). Sedangkan menurut Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat, biasanya sebagai kontaminan tanah, air dan sedimen.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun.
Keberhasilan proses bioremediasi harus didukung oleh disiplin ilmu lain seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia organik, biokimia, genetika molekuler, kimia air, kimia tanah, dan juga teknik. Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yis, dan alga. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang cukup kompleks. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi.
Terdapat perbedaan kecil antara pross pengolahan air limbah dengan proses bioremediasi dari bahan kimia berbahaya. Pada proses biologis, pengolahan limbah dikatalisis oleh proses kimia, sedangkan bioremediasi lebih rumit karena menggunakan katalisator (enzim) yang dikeluarkan oleh mikroorganisme untuk mengkatalisis penghancuran senyawa berbahaya yang spesifik.
Degradasi senyawa polutan selalu melibatkan transformasi struktur senyawa, sehingga terjadi perubahan integritas molecular polutan. Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangangbiakan mikroorganisme. Tidak terciptanya kondisi yang optimum akan mengakibatkan aktivitas degradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten di lingkungan.
Untuk mencapai kondisi yang optimum bagi degradasi polutan, maka teknik bioremediasi digunakan untuk memanipulasi sistem biologis sehingga akan terjadi perubahan-perubahan yang diinginkan di lingkungan. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan prinsip-prinsip biologis tentang degradasi senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi lingkungan terhadap mikroorganisme yang terkait dan reaksi-reaksi yang dikatalisnya.
Teknik bioremediasi menciptakan lingkungan yang terkontrol untuk memproduksi enzim yang sesuai bagi reaksi terkatalisis yang diinginkan. Kebutuhan dasar dari proses biologis yaitu :
1. Kehadiran mikroorganisme dengan kemampuan untuk mendegradasi senyawa target.
2. Keberadaan substrat yang dikenali dan dapat digunakan sebagai sumber energi dan karbon.
3. Adanya pengumpanan yang menyebabkan terjadinya sintesa spesifik untuk senyawa target.
4. Keberadaan sistem penerima-donor elektron yang sesuai.
5. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk reaksi terkatalisis enzim dengan kelembaban dan pH yang mendukung.
6. Ketersediaan nutrien untuk mendukung pertumbuhan sel mikroba dan produksi enzim.
7. Suhu yang mendukung aktivitas mikrobial dan reaksi terkatalisis.
8. Ketersediaan bahan atau substansi beracun terhadap mikroorganisme tersebut.
9. Kehadiran organisme untuk mendegradasi produk metabolit.
10. Kehadiran organisme untuk mencegah timbulnya racun antara.
11. Kondisi lingkungan yang meminimumkan organisme kompetitif bagi mikroorganisme pendegradasi.
Tanpa adanya enzim yang mengkatalis reaksi degradasi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan lama. Enzim mempercepat proses tersebut dengan cara menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi.
Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di lingkungan tidak akan berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan yang mati akan menutupi permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan pernah kita harapkan. Sebagai akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan akan terputus.
Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme, umumnya berlangsung melalui proses yang sama.

C. OPTIMALISASI KONDISI DALAM BIOREMEDIASI

Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon, perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang meliputi kondisi lingkungan, temperature, oksigen, dan nutrient yang tersedia.
1. Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient, enzm-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di dalam tanah.
2. Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40oC. Ladislao, et. al. (2007) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38oC bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme pathogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.
3. Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak.
4. Nutrien
Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolism sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
5. Interaksi antar Polusi
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energy yang dihasilkan.

D. BIOAUGMENTASI

Bioaugmentasi adalah penambahan organisme atau enzim pada suatu bahan untuk menyingkirkan bahan kimia yang tidak diinginkan. Bioaugmentasi digunakan untuk menyingkirkan produk sampingan dari bahan mentah dan polutan potensial dari limbah. Organisme yang biasa digunakan dalam proses ini adalah bakteri. Namun banyak aplikasi yang berhasil menggunakan tumbuhan untuk menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan bakteri pathogen. Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah phytoremediasi.
Pemilihan metode bioremediasi yang cocok dengan kondisi lingkungan diharapkan akan dapat meningkatkan kecepatan biodegradasi. Dua metode yang biasa dilakukan untuk bioremediasi adalah : (1) dengan menstimulasi populasi mikroorganisme eksogen (biostimulasi) dan (2) dengan menambahkan mikroorganisme eksogen (bioaugmentasi). Bioaugmentasi dipilih apabila kontaminan membutuhkan waktu degradasi yang lama, bila lingkungan yang tercemar sulit dimodifikasi dalam rangka mencapai kondisi optimal bagi pertumbuhan mikroorganisme, atau bila tingginya konsentrasi kontaminan menghambat pertumbuhan mikroorganisme indogenus. Bioaugmentasi juga dilakukan untuk menurunkan keragaman jalur degradasi hidrokarbon terutama untuk mempercepat proses degradasi hidrokarbon poliaromatik.
Keberhasilan aplikasi bioaugmentasi diukur dari peningkatan jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi serta daya tahan mikroorganisme eksogen pada lingkungan yang tercemar. Walter (1997) menyatakan bahwa untuk memperoleh strain mikroorganisme ataupun konsorsium mikroorganisme yang tepat bagi aplikasi bioaugmentasi ada tiga pilihan metode yang bisa dilakukan, yaitu : pengkayaan selektif, penggunaan produk mikroorganisme komersial atau rekayasa genetika.

DAFTAR PUSTAKA

Baldrian, P. (2003). Interaction of heavy metals with white-rot fungi, Enzyme and Microbial. Technol. 23: 79-91.
Cai, Q. Y., Ce-Hui Mo, Qi-Tang Wu, Qiao-Yun Zeng, Athanasios Katsoyiannis, Jean-Franc¸dan ois F´erard. 2007. Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)-contaminated sewage sludge by different composting processes. Journal of Hazardous Materials vol 142 halaman 535–542
Cerniglia, C.E. and Sutherland, J.B. (2001). Bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi in Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 136-187.
Ciroeksoko, P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Dalam Prosiding Pelatihan dan Lokakarya : Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. P. Citroeksoko, A. Setiana, M.A. Subroto dan D. T. Djaja (Edt). Cibinong, 24 – 28 Juni 1996.
Crawford, R. dan D. L. Crawford. 1996. Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. USA.
Juhasz, A. L dan Ravendra Naidu. 2000. Bioremediation of high molecular weight polycyclic aromatic hydrocarbons: a review of the microbial degradation of benzo[a]pyrene. International Biodeterioration & Biodegradation volume 45 halaman 57 – 88.
Ladislao, B. A., Angus J. Beck, Katarina Spanova, Joe Lopez-Real, Nicholas J. Russell. 2007. The influence of different temperature programmes on the bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in a coal-tar contaminated soil by in-vessel composting. Journal of Hazardous Materials volume 144 halaman 340–347.
Larsena, S. B., Dimitar Karakasheva, Irini Angelidaki, Jens Ejbye Schmidta. 2009. Ex-situ bioremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons in sewage sludge. Journal of Hazardous Materials volume 164 halaman 1568–1572
Mueller, J.G., Cerniglia, C.E., Pritchard, P.H. (1998). Bioremediation of environments contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbon. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, Cambridge University Press, Cambridge, pp. 125-194.
Nathanson, Jerry. 1997. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste Management and Pollution Control. Prentice-Hall. New Jersey.
Roane, T.M., Pepper, I.L. and Miller, R.M. (1998). Microbial remediation of metals. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, pp. 312-340.
Rosenberg, E. and Ron, E.Z. (1998). Bioremediation of petroleum contamination. In: Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L. Crawford, Cambridge University Press, Cambridge. pp. 100-124.
Sayer, J. and Gadd, G.M. (1997). Solubilization and transformation of insoluble inorganic metal compounds to insoluble metal oxalates by Aspergillus niger, Mycol. Res. 106: 653-661.
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2 Nomor 2, Januari 2006, Halaman 129 – 142.
Watanabe, Kazuya. 2001. Microorganisms relevant to bioremediation. Journal environmental biotechnology vol 12 halaman 237 – 241.
Walter, M. V. 1997. Bioaugmentation. Ch. 82 in Manual of Environmental Microbiology. Christon J. Hurst (Ed). ASM Press. Washington DC.

NB: Makalah Tugas Teknologi Pengolahan Limbah Padat & B3 (Pascasarjana TIP-IPB)

17 September 2009

PK 18: Buku Gambar dari Kertas Bekas

Anak saya sangat menyukai menggambar kebetulan di rumah banyak kertas-kertas laporan yang sudah tidak terpakai menumpuk di meja. Agar lebih semangat menggambar kertas-kertas tersebut saya buatkan buku gambar dengan cover kereta api kesukaannya.
Maka pada prakarya kertas 18: kain & kertas yang dimoderatori mba Phiphi dan admin mba Dian Y. kali ini saya aplikasikan kain felt dan pita kain pada sampul buku gambar dari kertas HVS bekas.
Berikut ini bahan, alat dan cara membuatnya.

Bahan:
  • Kertas HVS Bekas
  • Karton berwarna biru
  • Kertas krep hijau dan hijau muda
  • Kertas warna
  • Kain felt warna-warni
  • Pita kain warna hijau muda dan tua
  • Penjepit ulir plastik
  • Kancing kuning
  • Stiker abjad

Alat:
  • Gunting
  • Cutter
  • Lem Kertas
  • Lem UHU
  • Pelubang kertas

  1. Potong kertas HVS bekas menjadi setengahnya, lalu potong juga karton biru seukuran dengan kertas HVS yang sudah dipotong sebanyak 2 lembar.
  2. Lubangi kertas HVS dan karton sesuai dengan ulir pada penjepit.
  3. Masukkan kertas pada penjepit ulir, dengan susunan karton biru di bagian depan dan belakang sebagai sampul buku, lalu kertas HVS di bagian tengah dengan arah kertas yang belum terpakai berada di depan.
  4. Karton biru sebagai cover depan dihias dengan gambar kereta api.
  5. Buat bukit dari kertas krep warna hijau dan hijau muda, lalu tempeli dengan lem kertas.
  6. Buat rel kereta dari kertas berwarna dan ditempel di atas kertas krep.
  7. Buat kereta api dan asapnya, batang pohon, dan awan dari kain felt lalu ditempel dengan lem UHU.
  8. Tempel kancing kuning untuk matahari, lalu beri sinar dari kain felt.
  9. Untuk dedaunan pada pohon dibuat dari pita kain kecil yang disimpul dan dipotong pendek, kemudian ditempeli di atas batang pohon.
  10. Terakhir tempeli stiker abjad pada kereta api.

07 September 2009

Metana berkontribusi terhadap Pemanasan Global

A. METANA

Metana merupakan gas yang terbentuk dari proses dekomposisi anaerob sampah organik yang juga sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca yang mempunyai efek 20-30 kali lipat dibandingkan dengan gas CO2, total produksi metana bergantung kepada komposisi sampah yang secara teoritis bahwa setiap kilogram sampah dapat memproduksi 0.5 m3 gas metana, kontribusinya dalam efek pemanasan global sebesar 15 persen. Metana yang dilepas ke atmosfer lebih banyak berasal dari aktifitas manusia (anthropogenic) daripada hasil dari proses alami. Termasuk pembakaran biomassa dan beberapa kegiatan yang berasal dari dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob.
Metana terbentuk sebagai hasil metabolisme jasad renik di dasar rawa, dalam lambung manusia dan hewan serta dalam tumpukan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Selain itu pembakaran bahan organik juga menghasilkan metana. Metana diemisikan dari TPA sebagai hasil dekomposisi anaerobik sampah organik. Metana yang terbentuk berpindah dalam sampah secara horizontal dan vertikal dan akhirnya lepas ke atmosfer. TPA adalah sumber antropogenik metana dan memberikan kontribusi secara global sebesar 20-60 Tg metana per tahun. Jumlah metana yang diemisikan oleh negara maju dan negara berkembang berbeda. Secara global kira-kira 66% emisi metana dari TPA berasal dari negara-negara maju, 15% dari negara-negara transisi secara ekonomi dan 20% dari negara-negara berkembang.

Aktifitas mikroba dalam landfill menghasilkan gas-gas CH4 dan CO2 yang terbentuk pada tahap awal pengoperasian landfill (aerobik). Pada tahap selanjutnya landfill menghasilkan gas metan (anaerobik). Dalam mendisain landfill perlu disiapkan sistem penanganan gas yang eksplosif ini. Gas metana lebih ringan dari udara oleh karenanya ia akan bergerak dari dalam landfill ke arah atas hingga tertahan oleh bahan yang impermeable dan kemudian bergerak secara lateral hingga ditemukan celah untuk lolos ke permukaan landfill. Banyak cara pengeluaran gas metan ini diantaranya adalah menggabungkannya dengan pengeluaran leachate atau memasang ventilasi berupa pipa-pipa perforasi. Pembentukan metan dalam landfill melibatkan proses reaksi yang kompleks. Secara sederhana, proses pembentukan metan dari bahan selulosik adalah:
(C6H10O5)x + H2O  C6H12O6 hidrolisa
C6H12O6  3 CH3CO2H pembentukan asam
CH3CO2H  CH4 +CO2 pembentukan metan
Laju pembentukan metan di antara landfill sangat bervariasi. Perkiraan produksi gas metan dari landfill biasanya didasarkan pada landfill-landfill yang telah ada. Faktor empiris yang banyak digunakan dalam memperkirakan produksi metan dalam suatu landfill adalah 200-600 kaki kubik per menit per juta ton limbah dalam landfill mulai antara satu hingga dua tahun setelah penimbunan sampah. Walaupun komposisi gas landfill bervariasi dari satu landfill ke landfill lainnya, terdapat kemiripan tertentu. Dalam tahap-tahap awal dekomposisi sampah gas hasil mengandung sebagian besar karbon dioksida. Pada saat proses pembentukan gas metan mulai dominan, gas hasil akan berangsur-angsur menjadi kaya gas metan hingga suatu kondisi di mana produksi metan yang relatif konstan tercapai. Sejak produksi gas metan mulai konstan dan selanjutnya, gas akan mempunyai kandungan metan antara 45-55% dan 45-50% karbon dioksida.
Konsentrasi kombinasi metan-CO2 seringkali mencapai harga 99%, konsentrasi sisanya adalah gas-gas lain dalam jumlah kecil. Jenis gas-gas yang disebut terakhir ini juga sangat bervariasi dan kadang-kadang merupakan suatu hal yang kritikal karena sifat korosif, toksik ataupun baunya. Gas hidrogen dalam jumlah cukup berarti juga didapatkan dalam gas landfill walaupun biasanya hanya terjadi dalam waktu singkat sebelum tercapainya tahap fermentasi anaerobik. Hal ini kemungkinan terjadi karena ketidakseimbangan aktivitas mikroorganisme asetogenik dan metanogenik. Gas H2S dalam jumlah banyak jarang ditemui dalam gas landfill karena biasanya kandungan sulfur dalam limbah padat terlampu rendah untuk terbentuknya gas H2S. Gas landfill mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 BTU/scf.
Peningkatan konsentrasi metana disebabkan oleh laju emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju rosot metana. Metana berada di atmosfer dalam jangka waktu 7-10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3°C per tahun. Emisi metana dapat dinyatakan setara dengan emisi karbondioksida yang direduksi. Jumlah emisi metana yang telah tereduksi dapat dikonversikan menjadi sejumlah karbondioksida dengan menggunakan Nilai Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential) sebesar 24,5 (Nengsih, 2002).

B. DAMPAK METANA TERHADAP LINGKUNGAN

Kelompok gas rumah kaca termasuk metana dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam skala regional dan global. Perubahan yang berskala regional adalah terjadinya deposisi asam (hujan asam), sedangkan perubahan yang berskala global adalah perubahan iklim global, dan penipisan lapisan ozon atmosfer. Hal ini terjadi ketika konsentrasi GRK memerangkap radiasi sinar matahari sehingga mempengaruhi iklim dalam abad-abad mendatang. Masing-masing GRK memiliki sifat penyerapan radiasi sinar yang berbeda yang disebut spektrum adsorpsi. GRK yang dapat menyerap radiasi sinar infra merah dengan sangat intensif dapat dengan sangat mudah meningkatkan suhu dan berarti mempunyai potensi yang besar dalam pemanasan global, serta lamanya waktu tinggal di atmosfer, metana mempunyai potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari karbon dioksida tetapi mempunyai waktu tinggal lebih cepat yaitu 10 tahun sedangkan karbon dioksida 50-200 tahun.
Akibat dari perubahan iklim yang salah satunya disebabkan oleh konsentrasi GRK termasuk metana maka di beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat akan sangat rentan menghadapi perubahan tersebut. Ekosistem alami seperti terumbu karang juga sangat peka terhadap kenaikan suhu, apalagi jika kenaikan tersebut permanen, peristiwa El Nino dan El nina pada tahun 1997 banyak terumbu karang di Asia Tenggara mengalami pemutihan (bleaching), jika pemanasan suhu air laut terus berlangsung, maka pemulihannya akan sulit terjadi.

Keadaan iklim yang berubah akan mengakibatkan besaran dan distribusi air juga akan mengalami perubahan dan dalam jangka panjang kelestarian sumber daya air memerlukan perhatian yang serius. Tempat- tempat yang kering seperti Afrika akan mengalami kekeringan yang lebih hebat, sementara tempat-tempat basah seperti sebagian besar daerah tropis akan mengalami kondisi lebih basah. Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegatasi alami, dan keanekaragaman hayati. Sementara itu, daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa daerah kering akan menjadi kering dan daerah basah akan menjadi semakin basah.

C. STRATEGI PENANGANAN PENGURANGAN EMISI METANA

Strategi penanganan dengan tindakan-tindakan yang telah dilakukan ataupun sedang dirumuskan, akan mempunyai suatu kontribusi yang sangat signifikan bagi pengurangan gas metana, setidaknya kita telah bertindak dan bergerak bukan hanya termangu melihat bumi makin lama akan menuju kepunahan oleh ulah manusia. Memang, sudah banyak upaya yang dilakukan oleh semua orang dari pemerintah daerah, pusat, dunia, ilmuwan, masyarakat dari berbagai tingkatan. Mereka mulai dari mengadopsi satu pot tanaman yang dapat memberikan oksigen yang cukup untuk enam orang dalam satu ruangan. Tanaman itu pun berfungsi sebagai penampung air dan fungsi ekologis yang penting. Lalu, banyak orang juga sudah bergabung dan mendukung organisasi-organisasi pemerhati lingkungan, menghemat energi dengan mematikan lampu di saat tidur atau tidak diperlukan, melakukan reduce reuse, recycle , di rumah.
Kesadaran bertindak masyarakat dunia telah bergerak sejak lama dari konferensi the World Climate di Geneva yang diadakan pada tahun 1979 dengan hasil didirikannya the World Climate programme dibawah the World Metereological Organization, UNEP, UNIESCO dan ICSU sampai Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim yang diadakan di Bali-Indonesia pada tanggal 3-14 Desember 2007, perjalanan selama 28 tahun diharapkan akan berdampak kepada pemulihan dunia secara perlahan-lahan.

a. REDUCE, REUSE, RECYCLE
Penerapan konsep 3R setidaknya dapat mengurangi produksi metana kurang lebih tiga kali yang berasal dari landfill. Pengertian dari reduce yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah yang berasal dari sumbernya, contohnya ketika belanja membawa kantong/keranjang dari rumah, mengurangi kemasan yang tidak perlu, menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang, misalnya bungkus nasi menggunakan daun pisang atau daun jati. Sedangkan pengertian dari istilah reuse (guna ulang) yaitu kegiatan penggunaan kembali sampah yang masih dapat digunakan baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain, contohnya berupa botol bekas minuman dirubah fungsi jadi tempat minyak goreng, ban bekas dimodifikasi jadi kursi dan pot bunga. Pengertian dari istilah recycle (mendaur ulang) yaitu mengolah sampah menjadi produk baru, contohnya sampah kertas diolah menjadi kertas daur ulang/kertas seni/campuran pabrik kertas, sampah plastik kresek diolah menjadi kantong kresek.

b. KOMPOSTING
Proses penanganan pengurangan emisi metana dapat dilakukan dengan menggunakan metode kompos. Pada proses pengomposan akan terjadi proses penguraian aerob yang tidak menghasilkan gas metana, sehingga metode ini akan mengurangi emisi metana ke dalam atmosfer. Pada penelitian Nengsih (2002), terlihat bahwa dengan melakukan pengomposan dengan laju produksi 15 persen per tahun maka produksi gas metana dapat berkurang sebesar 4000-5000 ton. Hal ini merupakan salah satu metode yang efektif jika diterapkan.
Pengomposan merupakan upaya pengolahan limbah yang sekaligus mendapatkan bahan-bahan komops yang dapat berfungsi untuk menyuburkan tanah. Metode ini mempunyai prinsip dasar menurunkan atau mendegradasi bahan-bahan organik secara terkontrol menjadi bahan-bahan anorganik dengan menggunakan mikroorganisme. Agar pertumbuhan mikroorganisme dapat berjalan optimum, maka diperlukan beberapa kondisi yang harus dikontrol diantaranya suhu dan kelembaban udara.

c. WASTE TO ENERGY & BIOGAS
Sampah masih memiliki kandungan energi yang besar. Pada sampah organik berupa sisa tumbuhan, energi itu berasal dari matahari yang ditangkap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Sampah organik berupa plastik mengandung energi yang berasal dari bahan bakar minyak, batu bara dan gas yang digunakan dalam proses sintesis zat kimia sederhana menjadi zat kimia yang kompleks. Energi dalam sampah organik, baik yang berupa sisa tumbuhan, maupun sisa bahan berupa zat kimia sintetik dapat dibebaskan lagi dengan pembakaran. Energi yang dibebaskan itu dapat digunakan untuk memanaskan air dalam boiler dan uap yang terbentuk digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Terjadilah konversi sampah jadi energi (waste-to-energy).
Pada prinsipnya sampah itu digunakan sebagai bahan bakar pengganti BBM, gas atau batubara. Teknologi sampah-jadi-energi ialah dengan pembusukan sampah secara anaerobik untuk menghasilkan gas metana. Gas metana (biogas) yang terbentuk dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dalam proses ini metana diubah menjadi CO2 yang potensi pemanasan globalnya adalah 1/20 metana. Metana sampah untuk pembangkitan listrik telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk berdagang karbon dalam kerangka Protokol Kyoto, misalnya Romania, Brasil, India dan Mesir.

d. CDM (Clean Development Mechanism)
Merangsang pembangunan berkelanjutan, CDM memberikan rangsangan pada pembangunan berkelanjutan dan pengurangan emisi, dengan memberikan negara-negara industri fleksibilitas dalam mencapai target reduksi emisinya.
• Pengurangan emisi di negara-negara berkembang, mekanisme ini memberikan projek pengurangan emisi di negara-negara berkembang untuk mendapatkan sertifikat unit pengurangan emisi yang mempunyai ekivalen dengan 1 ton CO2. Selanjutnya partisipan tersebut dapat menjualnya kepada pembeli dari negara-negara industri. Ragam projek ini dari ladang angin (wind farms) hingga pembangkit listrik tenaga air dan juga termasuk proyek efisiensi energi. Proyek ini harus mempunyai kualifikasi dalam perancangan proses registrasi yang ketat untuk memastikan kebenaran, tingkat pengurangan emisi yang dapat terjadi bila tanpa adanya proyek ini.
• Program Pertumbuhan, skema kredit dan investasi pertama di dunia dalam bidang ini, diawasi oleh pejabat eksekutif, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto. Sekitar 645 proyek (pada 2 mei 2007) telah didaftarkan oleh lebih dari 44 negara, meliputi banyak sektor, dari energi terbarukan hingga pertanian dan industri kosmetik. proyek-proyek ini diharapkan dapat mengumpulkan 810 juta CERs (certified emission reduction) pada akhir periode komitmen pertama pada tahun 2012. ketika proyek dibidang pipeline disetujui, angka CERs yang diharapkan dapat mencapai 1.9 miliar.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007a. Buku Panduan Mengelola Sampah Rumah Tangga dengan Prinsip 4R. Jakarta.
----. 2007b. Solid Waste Contribution Toward the Global Warming. Jakarta.
----. 2007c. Sekilas Tentang Perubahan Iklim. Jakarta.
----. 2008. Emisi Gas Rumah Kaca dalam Angka. Jakarta.
Nengsih, Fitria. 2002. Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Pengomposan Sampah Padat Perkotaan. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global diakses pada tanggal 20 April 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca diakses pada tanggal 20 April 2009.
http://maps.grida.no/go/graphic/contribution-from-waste-to-climate-change diakses pada 19 April 2009.
http://www.globalwarmingart.com/wiki/Glacier_Gallery diakses pada tanggal 19 April 2009.
Murdiyarso, D. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Kompas. Jakarta.
Murtadho, D dan E Gumbira Said. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. PT. Melton Putra. Jakarta.
Nathanson, J. A. 1997. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste Management and Pollution Control. Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.
Sukowati Andria. 2002. Perubahan Lingkungan Global, Penipisan Lapisan Ozon dan Gas Rumah Kaca. KLH – Jakarta.


NB: Makalah dalam tugas Teknologi Pengolahan Limbah Padat dan B3 (Pascasarjana TIP-IPB)

04 September 2009

Konsep Toksikologi B3

A. PENDAHULUAN

Dengan semakin meningkatnya pembangunan di berbagai sektor terutama di sektor industri dan perdagangan di Indonesia, maka cenderung penggunaan bahan berbahaya dan beracun di dalam proses industri semakin meningkat. Konsekuensi dari penggunaan bahan kimia tersebut, maka limbah berbahaya dan beracun/B3 yang dihasilkan akan menimbulkan pencemaran ke lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Pencemaran lingkungan ini tentunya akan memiliki dampak yang negatif terhadap kesehatan masyarakat.

Di dalam Undang-undang no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan berbahaya dan Beracun, dan hal ini sudah difasilitasi dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) RI yang baru No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta PP No. 85 tahun 1999, tentang perubahan PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Salah satu aspek dalam PP No. 85 tahun 1999, disebutkan bahwa limbah yang dihasilkan secara dini perlu diidentifikasi berdasarkan uji toksikologi.

B. TOKSIKOLOGI

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek merugikan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Selain itu toksikolgi juga mempelajari kerusakan/cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Pengaruh merugikan dari bahan berbahaya ini tergantung dari beberapa faktor yaitu cara masuk bahan, waktu, dosis, sifak fisik, usia, jenis kelamin serta kondisi fisik pekerja yang terkena resiko. Sedangkan menurut Oginawati (2002) toksisitas dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu : Spesies (jenis mahluk hidup: hewan, manusia, tumbuhan); Portal of entry, cara masuknya zat racun tersebut: kulit, pernafasan dan mulut; dan Bentuk/ sifat kimia - fisik dll.
Bentuk bahan toksik bermacam-macam yaitu dalam bentuk gas, vapor, aerosol, debu, fume, asap, mist atau kabut. Hal ini penting untuk diketahui sebab bentuk bahan toksik ini berguna dalam mengenali dan menentukan metode yang tepat untuk menangani dan mengontrolnya.

Beberapa pencemar seperti bahan toksik, dapt bertindak langsung pada makhluk hidup serta dapat mengubah lingkungan dan menghasilkan suatu pengaruh pada ekosistem. Pengaruh bahan toksik terhadap ekosistem dapat dipelajari pada ekotoksikologi. Ekotoksikolgi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan.

C. RUTE FISIOLOGIS BAHAN TOKSIK

Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah melalui absorpsi, distribusi dan ekskresi pada paru-paru (pernapasan/inhalasi), kulit (topikal), pencernaan (ingesti) dan injeksi.
1. Absorpsi
Bahan toksik akan diserap oleh tubuh melalui paru-paru, kulit dan saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan sistem kelenjar getah bening. Bahan toksik tersebut kemudian diangkut ke seluruh tubuh. Selain berbahaya tanpa diabsorbsi, bahan toksik tersebut tajam dan menyebabkan karat (korosif) yang bereaksi pada titik singgungnya.
a. Via paru-paru
Faktor yang berpengaruh pada absorpsi bahan toksik dalam sistem pernapasan adalah bentuk bahan misalnya gas dan uap; aeroso; dan ukuran partikel; zat yang terlarut dalam lemak dan air. Paru-paru dapat mengabsorbsi bahan toksik dalam jumlah besar karena area permukaan yang luas dan aliran darah yang cepat.
b. Via kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis (lapisan terluar), dermis (lapisan tengah) dan hypodermis (lapisan paling dalam). Epidermis dan dermis berisi keringat, kantung minyak dan akar rambut. Bahan toksik paling banyak terabsorbsi melalui lapisan epidermis. Absorbsi bahan toksik melalui epidermis tergantung pada kondisi kulit, ketipisan kulit, kelarutannya dalam air dan aliran darah pada titik singgung. Akibat bahan toksik antara lain pengikisan atau pertukaran lemak pada kulit yang terekspos dengan bahan alkali atau asam dan pengurangan pertahanan epidermis.
c. Via saluran pencernaan
Absorbsi bahan toksik dapat terjadi di sepanjang saluran pencernaan (gastro-intestinal tract). Faktor yang mempengaruhi terjadinya absorbsi adalah sifak kimia dan fisik bahan tersebut serta karakteristiknya seperti tingkat keasaman atau kebasaan.

2. Distribusi
Setelah absorbsi bahan toksik terjadi, maka bahan tersebut didistribusikan ke seluruh tubuh melalui darah, kelanjar getah bening atau cairan tubuh yang lain oleh darah. Distribusi bahan beracun tersebut :
 Disimpan dalam tubuh pada hati, tulang dan lemak
 Dikeluarkan melalui feses, urine atau pernapasan
 Mengalami biotransformasi atau metabolisme dimana bentuk akhirnya lebih siap dikeluarkan

3. Ekskresi
Ekskresi bahan toksik dapat terjadi melalui hembusan udara atau pernapasan, dan dari sekresi melalui keringat, air susu, feses dan urine. Toksikan dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit dan atau konjugat.
a. Ekskresi urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler dan sekresi tubuler.
b. Ekskresi empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan, terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam emped, senyawa ini tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Tetapi ada pengecualian, misalnya konugat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh flora usus menjadi toksikan bebas yang diserap kembali.
c. Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresikan lewat paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang mudah larut misalnya kloroform dan halotan mungkin diekskresikan sangat lambat karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena terbatasnya volume ventilasi. Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi karena difusi sederhana lewat membran sel.
d. Jalur lain
Saluran cerna bukan jalur utama ekskresi toksikan. Oleh karena lambung dan usus manusia masing-masing mesekresi kurang lebih tiga liter cairan setiap hari, maka beberapa toksikan dikeluarkan bersama cairan tersebut. Hal ini terjadi terutama lewat difusi sehingga lajunya bergantung pada pKa toksikan dan pH lambung dan usus.
Ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI), ditinjau dari sudut toksikologi amat penting karena lewat air susu ibu ini racun terbawa dari ibu kepada bayi yang disusuinya. Ekskresi ini terjadi melalui difusi sederhana. Oleh karena itu seorang ibu yang sedang menyusui harus berhati-hati dalam hal makanan terutama kalau sedang mengkonsumsi obat.

D. EFEK DARI ZAT BERACUN (TOKSIK)

Tingkat toksisitas bahan tersebut tergantung pada jalan masuknya, durasi atau lamanya terpapar dan reaksi tubuh terhadap bahan tersbut, efeknya semakin meningkat. Berdasarkan efeknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. lama efek akut atau kronis
efek akut adalah ketika ekspos bahan toksik pada dosis tunggal, efek terjadi secara tiba-tiba atau cepat setalah bahan tersebut terkspos ke dalam tubuh. Ekspos dalam jumlah yang besar, akan menyebabkan iritasi, kesakitan, yang lebih ekstrim adalah dapat menyebabkan kematian. Efek kronis adalah ketika ekspos bahan toksik pada dosis ganda dan pada periode waktu yang panjang. Reaksi dapat terlihat setelah lama terekspos. Beberapa efek kronis seperti kanker, dapat terjadi dalam kurun waktu 20 – 30 tahun setelah terjadi ekspos.

2. tempat terjadinya aksi efek lokal atau sistemik
efek lokal adalah efek toksik yang terjadi pada titik singgung dengan tubuh. Umumnya terjadi gejala iritasi atau korosif bahan. Efek sistemik adalah bahan toksik yang telah terabsorbsi ke dalam tubuh dan disitribusikan melalui aliran darah masuk ke dalam organ. Organ yang diberi efek antara lain yaitu hepatoksin, neprotoksin, neurotoksin, haeotoksin, imunotoksin, pulmonotoksin. Respon yang dihasilkan antara lain : kanker, kegagalan kelahiran, mutasi, iritasi, mati lemas dan sebagainya.
3. organ yang terkena efek
4. respon yang dihasilkan

E. EFEK TOKSIK PADA TUBUH

Efek toksik pada organ tubuh manusia, dapat dibagi menjadi :
1. Lokal dan Sistemik
 Lokal : bahan yang bersifat korosif, iritatif
 Sistemik : terjadi setelah bahan kimia masuk, diserap dan distribusikan ke tubuh
 Konsentrasi bahan berbahaya tidak selalu paling tinggi dalam target organ (ex. Target organ methyl merkuri adalah otak, tapi konsentrasi tertinggi ada di hati dan ginjal, DDT target organnya adalah susunan pusat syaraf pusat tapi konsentrasi tertinggi pada jaringan lemak)

2. Efek yang reversible dan irreversible
 Reversible : bila efek yang terjadi hilang dengan dihentikannya paparan bahan berbahaya. Biasanya konsentrasi masih rendah dan waktu singkat.
 Irreversible : bila efek yang terjadi terus menerus bahkan jadi parah walau pajanan telah dihentikan (ex. Karsinoma, penyakit hati), biasanya konsentrasi tinggi dan waktu lama

3. Efek langsung dan tertunda
 efek langsung : segera terjadi setelah pajanan (ex. Sianida)
 efek tertunda : efek yang terjadibeberapa waktu setelah pajanan (efek karsinogenik)

4. Reaksi alergi dan idiosynkrasi
 Reaksi alergi (hipersensitivitas) terjadi karena adanya sensitisasi sebelumnya yang menyebabkan dibentuknya antibodi oleh tubuh
 Reaksi Idiosynkrasi : merupakan reaksi tubuh yang abnormal terhadap karena genetik (ex. Kekurangan enzim succynicholin)

F. ANALISIS/ UJI TOKSISITAS

Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 pasal 6 disebutkan bahwa limbah B-3 dapat diidentifikasi menurut sumber atau uji karakterisasi atau uji toksisitas. Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau kronik limbah. Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun di lingkungan. Toksisitas akut terjadi pada dosis tinggi, waktu pemaparan pendek dengan efek parah dan mendadak, dimana organ absorpsi dan eksresi yant terkena. Sedangkan toksisitas kronis terjadi pada dosis tidak tinggi pemaparan menahun, gejala tidak mendadak atau gradual, intensitas efek dapat parah/ tidak. Jenis uji yang digunakan tergantung pada penggunaan zat kimia dan manusia yang terpapar.

Uji toksisitas dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Uji toksisitas kualitatif misalnya dilihat dari segi organ yang terkena racun, misalnya hati, ginjal, sistem saraf dll. Uji toksisitas kualitatif dapat juga dilihat dari gejala yang timbul mekanisme racun terhadap organ mulai pada tingkat selluler, ke tingkat jaringan, dan sampai pada tingkat organ, serta menimbulkan gejala – gejala fibrosis, granuloma, karsinogenik, teratogenik dll. Dan banyak lagi zat kimia dalam betuk logam dan non logam yang juga dapat menyebabkan efek seperti disebut di atas. Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub-akut, kronis. Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multipel dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel. Toksisitas kronis sifatnya permanen, lama, konstan, kontinu, irreversibel
Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas akut/ kronis. Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar, kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi dari usia, jenis kelamin, berat badan, portal of entry, frekuensi, interval waktu, kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Terdapat beberapa istilah mengenai dosis yaitu yang umum digunakan adalah Lethal Dosis (LD) : yaitu dosis yang mematikan X % hewan uji dengan satuan berat/berat badan. Dikenal LD10, LD50, LD100, Min LD dan Dosis Therapheutik yaitu dosis yang tepat untuk pengobatan. atau dapat juga dilihat dari konsentrasi LC10, LC5O, LC100. Di dalam PP 18 tahun 1999 dikatakan bahwa limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metoda toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan yaitu 15 g/kg berat badan. Sedangkan dalam PP No 85 tahun 1999 dikatakan bahwa bila nilai LD50 secara oral lebih besar dari 50 mg/kg berat badan, maka terhadap limbah yang mengandung salah satu zat pencemar pada lampiran III PP tersebut harus dilakukan evaluasi sifat kronis, yaitu mutagenisitas, karsinogenisitas, teratogenisitas.

Uji toksisitas biasanya dilakukan dengan menggunakan hewan uji seperti mencit, tikus, kelinci, monyet dan anjing. Pemilihan hewan uji tergantung pada jenis toksikannya dan ketersediaan dana. Setelah diperoleh hasil uji toksisitas, untuk dapat diketahui efeknya terhadap manusia, maka perlu dilakukan extrapolasi.
Klasifikasi toksisitas pada jalur masuk substansi kimia secara oral :
a. Sangat beracun, jika LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 25 mg/kg (bobot badan)
b. Beracun, jika LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 200 mg/kg dan lebih besar daripada 25 mg/kg (bobot badan)
c. Berbahaya, jiak LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 2000 mg/kg dan lebih besar daripada 200 mg/kg (bobot badan)

Klasifikasi toksisitas pada jalur masuk substansi kimia secara dermal
d. Sangat beracun, jika LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 50 mg/kg (bobot badan)
e. Beracun, jika LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 400 mg/kg dan lebih besar daripada 50 mg/kg (bobot badan)
f. Berbahaya, jiak LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 2000 mg/kg dan lebih besar daripada 400 mg/kg (bobot badan)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Press. Yogyakarta.
Anonim. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta.
-----. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta.
Henry, J. G. and G. W. Heinke. 1996. Environmental Science and Engineering. Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.
http://hiperkes.wordpress.com/2008/03/29/toksikologi-industri/ diakses pada tanggal 27 April 2009.
Indrasti, S Nastiti. 2005. Toksikologi/Ekotoksikologi. Modul Pelatihan Manajemen Bahan Berbahaya dan Beracun, 27 – 30 Juni 2005. Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan. Dep TIN-IPB. Bogor.
Mansyur. 2002. Toksikologi : Keamanan, Unsur dan Bidang-bidang Toksikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nathanson, Jerry. 1997. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste Management and Pollution Control. Prentice-Hall. New Jersey.
Oginawati, K. 2002. Konsep Ekotoksikologi Limbah B3 dan Kesehatan. Departemen Teknik Lingkungan ITB. Bandung.
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2 Nomor 2, Januari 2006, Halaman 129 – 142.

Penulis : Angga Yuhistira (Mahasiswa Pasca Sarjana TIP-IPB) ditulis sebagai laporan tugas Mata Kuliah Teknologi Pengolahan Limbah Padat dan B3

04 Januari 2009

Proses Produksi AMDK

Proses pengolahan terhadap air baku (raw water) pada prinsipnya meliputi perlakuan secara fisika dan secara kimia sehingga pada akhirnya diperoleh AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan aman untuk dikonsumsi langsung. Adapun proses pengolahan AMDK melalui beberapa tahapan, tahapan-tahapan tersebut adalah penampungan air, pengolahan air (water treatment), sterilisasi air, pengisian, dan pengemasan produk.

1. Proses Penampungan Air
Proses penampungan air adalah proses pemindahan air dari sumber, dalam hal ini mata air, ke tanki penampung yaitu tangki air baku. Sumber air yang berada di Ciburial dialirkan melalui pipa-pipa yang dipompa ke tanki penampungan air baku yang terbuat dari stainless steel dengan debit 500 lt/detik. Kapasitas air di tanki air baku sebesar 3 m3. Untuk selanjutnya dipompa ke unit pengolahan air (water treatment).

2. Proses Pengolahan Air
Proses pengolahan air baku di unit water treatment merupakan proses pengolahan untuk memperoleh treated water, yaitu air bersih yang secara kualitas fisika maupun kimia sudah sesuai standar air minum dan kualitasnya secara mikrobiologis juga sudah lebih baik dari air baku, sehingga tidak mengganggu kesehatan dan dapat menstabilkan komposisi mineral di dalamnya. Dari unit pengolahan ini dihasilkan air yang sudah jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Serta tidak mengandung logam berbahaya seperti Fe dan Mn dalam jumlah yang membahayakan kesehatan jika dikonsumsi oleh tubuh.

Dalam proses pengolahan air, air baku akan mengalami proses filtrasi. Proses filtrasi pada dasarnya ialah melewatkan air melalui lapisan bahan yang berpori misalnya pasir, arang aktif atau lainnya. Dengan demikian benda atau partikel-partikel yang lebih besar dari pori filter akan tertahan di atas pori filter tersebut.

Proses filtrasi atau penyaringan pada unit water treatment dilakukan melalui 3 tahap penyaringan atau filter, yaitu sand filter, carbon filter dan micron filter. Dalam sand filter terjadi proses penyaringan partike-partikel kotoran. Pada proses filtrasi, bahan koloid akan tertahan yaitu dalam bentuk lapisan gelatin, sedangkan ion-ion yang larut dalam air akan dinetralkan oleh ion-ion pasir (sebagian partikel pasir juga mengalami ionisasi di dalam filter). Dengan demikian sifat air akan berubah karena terjadi netralisasi tersebut. Di samping itu, lapisan zooglial pasir yang mengandung organisme hidup akan memakan bahan organis, jadi akan membersihkan air. Dengan demikian cara kerja pasir penyaring dapat secara mekanis, elektrolisis dan bakterisidal.

Pasir yang digunakan pada proses filtrasi harus bersih, keras dan tahan. Bahan penyaring terdiri dari pasir yang cukup kasar dan ditempatkan di atas koral/kerikil yang ditempatkan secara berlapis-lapis. Besar butir pasir yang digunakan akan mempengaruhi keefektifan proses filtrasi. Pada waktu tertentu, pasir penyaring harus dicuci dengan cara back washed sistem yaitu air dialirkan secara terbalik atau berlawanan dengan aliran air selama penyaringan (dari bawah ke atas), dengan kecepatan yang memungkinkan pasir mengalami pemuaian (ekspansi) sehingga proses filtrasi tetap efisien.

Dari sand filter, air masuk ke dalam tanki carbon filter. Dalam filter ini partikel-partikel kecil yang terlewat dari sand filter cepat diserap oleh karbon aktif dengan kapasitas penyerapan tinggi. Tujuan penyaringan menggunakan carbon filter ini agar terjadi proses penyerapan untuk menghilangkan residu, netralisasi bau, warna, rasa, serta penyaringan partikel-partikel air yang lolos dari sand filter.
Karbon aktif dibuat dengan pembakaran bahan-bahan yang kaya akan unsur karbon (C) seperti kayu atau batu bara dengan cara mengurangi oksigen untuk menghindari pembentukan karbondioksida. Adanya temperatur yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya desorpsi beberapa senyawa organik. Karena itu karbon aktif mempunyai kapasitas penyerapan yang tinggi terhadap zat-zat organik yang ada dalam air. Aktifitas karbon ini dipengaruhi oleh perbedaan ukuran pori-pori di dalamnya, kemurnian unsur-unsur organik (karbon) dari bahan mentah dan metode pembuatannya.
Sedangkan pada micron filter terjadi proses penyaringan partikel-partikel air yang masih lolos dari carbon filter. Ukuran micron filter yang digunakan dalam pengolahan air ini terdiri dari dua ukuran yaitu ukuran tiga micron dan satu micron.

3. Proses pensucihamaan (sterilisasi)
Proses pensucihamaan yaitu proses yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan manusia yang terdapat di dalam air dengan menggunakan catridge dan ozone.

Tujuan adanya cartidge untuk menahan mikroorganisme dan menyaring kotoran-kotoran halus yang mungkin masuk ke dalam air. Dalam proses sterilisasi, air diinjeksi oleh ozone. Gas ozone adalah gas yang tidak stabil dan mudah terurai menjadi gas O2 dan On. Dalam proses ozonisasi, gas terebut akan dicampur dengan air secara seksama. Gelembung-gelembung ozone menyebar ke seluruh bagian air dan secara aktif mengoksidasi air termasuk bakteri dan mikroorganisme lainnya. Konsentrasi ozone yang diinjeksi ke dalam kemasan tidak akan meninggalkan residu pada produk akhir karena ozone tersebut akan berubah menjadi oksigen.

Dengan demikian pada proses ozonisasi, air yang dihasilkan akan lebih bersih dan lebih segar dibandingkan dengan hasil proses klorinasi. Kelebihan proses ini adalah tidak meninggalkan residu dan sangat efektif menghilangkan rasa, warna serta bau yang sukar dihilangkan dengan cara lain.

Ozone dibandingkan klorin lebih efektif dalam menginaktivasi virus, serta kecepatan desinfeksi lebih besar, tidak ada limbah toksik, akan tetapi harganya 3 kali lebih mahal dan tidak ada proteksi terhadap pertumbuhan kembali mikroorganisme.
Air yang telah diinjeksi ozone kemudian masuk ke dalam tanki penampungan agar proses pencampuran lebih sempurna. Dari tanki tersebut air masuk ke dalam filter yang berukuran 0.2 micron. Setelah proses filtrasi ini kemudian air dialirkan ke masin g-masing bagian mesin pengisian (filling machine).

4. Proses Pengisian
Sebelum masuk ke proses pengisian, galon yang digunakan diseleksi, dicuci, masuk ke mesin washer galon kemudian masuk filling dan capping galon. Galon yang digunakan ada dua macam yaitu galon baru dan galon yang berasal dari konsumen. Galon-galon dari konsumen diseleksi oleh bagian seleksi galon di ruang penampungan galon dan kemudian dipisahkan. Galon yang dapat digunakan untuk diisi masuk ke ruang pencucian.

Pencucian galon bertujuan untuk membersihkan galon baik bagian dalam maupun luar. Proses pencucian galon di ruang pencucian melalui tahap sebagai berikut :
a. Pencucian bagian luar galon
Bagian luar galon dicuci secara manual dengan air yang telah dicampur dengan sabun untuk menghilangkan kotoran yang terdapat di bagian luar galon.
b. Penyemprotan larutan PC
Galon disemprot dengan larutan PC untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme yang terdapat di dalam galon.
c. Rinsing galon
Galon dibilas dengan menggunakan air, dengan tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa PC.
Galon yang sudah bersih baik bagian luar maupun dalam disanitasi atau disterilisasi dengan menggunakan mesin washer galon. Kemudian galon diisi di bagian filler galon. Setelah diisi galon ditutup dengan menggunakan mesin capper.
Air yang diisikan pada galon berasal dari tanki penampung air yang telah mengalami ozonisasi.

5. Proses Pengemasan
Tahapan terakhir setelah proses pengisian adalah pengemasan termasuk pemasangan label dan cap seal. Setelah itu galon dimasukkan ke dalam gudang dan siap untuk disebarkan ke distributor-distributor minuman air dalam kemasan.