A. PENDAHULUAN
Dengan semakin meningkatnya pembangunan di berbagai sektor terutama di sektor industri dan perdagangan di Indonesia, maka cenderung penggunaan bahan berbahaya dan beracun di dalam proses industri semakin meningkat. Konsekuensi dari penggunaan bahan kimia tersebut, maka limbah berbahaya dan beracun/B3 yang dihasilkan akan menimbulkan pencemaran ke lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Pencemaran lingkungan ini tentunya akan memiliki dampak yang negatif terhadap kesehatan masyarakat.
Di dalam Undang-undang no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan berbahaya dan Beracun, dan hal ini sudah difasilitasi dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) RI yang baru No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta PP No. 85 tahun 1999, tentang perubahan PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Salah satu aspek dalam PP No. 85 tahun 1999, disebutkan bahwa limbah yang dihasilkan secara dini perlu diidentifikasi berdasarkan uji toksikologi.
B. TOKSIKOLOGI
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek merugikan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Selain itu toksikolgi juga mempelajari kerusakan/cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Pengaruh merugikan dari bahan berbahaya ini tergantung dari beberapa faktor yaitu cara masuk bahan, waktu, dosis, sifak fisik, usia, jenis kelamin serta kondisi fisik pekerja yang terkena resiko. Sedangkan menurut Oginawati (2002) toksisitas dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu : Spesies (jenis mahluk hidup: hewan, manusia, tumbuhan); Portal of entry, cara masuknya zat racun tersebut: kulit, pernafasan dan mulut; dan Bentuk/ sifat kimia - fisik dll.
Bentuk bahan toksik bermacam-macam yaitu dalam bentuk gas, vapor, aerosol, debu, fume, asap, mist atau kabut. Hal ini penting untuk diketahui sebab bentuk bahan toksik ini berguna dalam mengenali dan menentukan metode yang tepat untuk menangani dan mengontrolnya.
Beberapa pencemar seperti bahan toksik, dapt bertindak langsung pada makhluk hidup serta dapat mengubah lingkungan dan menghasilkan suatu pengaruh pada ekosistem. Pengaruh bahan toksik terhadap ekosistem dapat dipelajari pada ekotoksikologi. Ekotoksikolgi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan.
C. RUTE FISIOLOGIS BAHAN TOKSIK
Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah melalui absorpsi, distribusi dan ekskresi pada paru-paru (pernapasan/inhalasi), kulit (topikal), pencernaan (ingesti) dan injeksi.
1. Absorpsi
Bahan toksik akan diserap oleh tubuh melalui paru-paru, kulit dan saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan sistem kelenjar getah bening. Bahan toksik tersebut kemudian diangkut ke seluruh tubuh. Selain berbahaya tanpa diabsorbsi, bahan toksik tersebut tajam dan menyebabkan karat (korosif) yang bereaksi pada titik singgungnya.
a. Via paru-paru
Faktor yang berpengaruh pada absorpsi bahan toksik dalam sistem pernapasan adalah bentuk bahan misalnya gas dan uap; aeroso; dan ukuran partikel; zat yang terlarut dalam lemak dan air. Paru-paru dapat mengabsorbsi bahan toksik dalam jumlah besar karena area permukaan yang luas dan aliran darah yang cepat.
b. Via kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis (lapisan terluar), dermis (lapisan tengah) dan hypodermis (lapisan paling dalam). Epidermis dan dermis berisi keringat, kantung minyak dan akar rambut. Bahan toksik paling banyak terabsorbsi melalui lapisan epidermis. Absorbsi bahan toksik melalui epidermis tergantung pada kondisi kulit, ketipisan kulit, kelarutannya dalam air dan aliran darah pada titik singgung. Akibat bahan toksik antara lain pengikisan atau pertukaran lemak pada kulit yang terekspos dengan bahan alkali atau asam dan pengurangan pertahanan epidermis.
c. Via saluran pencernaan
Absorbsi bahan toksik dapat terjadi di sepanjang saluran pencernaan (gastro-intestinal tract). Faktor yang mempengaruhi terjadinya absorbsi adalah sifak kimia dan fisik bahan tersebut serta karakteristiknya seperti tingkat keasaman atau kebasaan.
2. Distribusi
Setelah absorbsi bahan toksik terjadi, maka bahan tersebut didistribusikan ke seluruh tubuh melalui darah, kelanjar getah bening atau cairan tubuh yang lain oleh darah. Distribusi bahan beracun tersebut :
Disimpan dalam tubuh pada hati, tulang dan lemak
Dikeluarkan melalui feses, urine atau pernapasan
Mengalami biotransformasi atau metabolisme dimana bentuk akhirnya lebih siap dikeluarkan
3. Ekskresi
Ekskresi bahan toksik dapat terjadi melalui hembusan udara atau pernapasan, dan dari sekresi melalui keringat, air susu, feses dan urine. Toksikan dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit dan atau konjugat.
a. Ekskresi urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler dan sekresi tubuler.
b. Ekskresi empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan, terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam emped, senyawa ini tidak akan diserap kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Tetapi ada pengecualian, misalnya konugat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh flora usus menjadi toksikan bebas yang diserap kembali.
c. Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresikan lewat paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang mudah larut misalnya kloroform dan halotan mungkin diekskresikan sangat lambat karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena terbatasnya volume ventilasi. Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi karena difusi sederhana lewat membran sel.
d. Jalur lain
Saluran cerna bukan jalur utama ekskresi toksikan. Oleh karena lambung dan usus manusia masing-masing mesekresi kurang lebih tiga liter cairan setiap hari, maka beberapa toksikan dikeluarkan bersama cairan tersebut. Hal ini terjadi terutama lewat difusi sehingga lajunya bergantung pada pKa toksikan dan pH lambung dan usus.
Ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI), ditinjau dari sudut toksikologi amat penting karena lewat air susu ibu ini racun terbawa dari ibu kepada bayi yang disusuinya. Ekskresi ini terjadi melalui difusi sederhana. Oleh karena itu seorang ibu yang sedang menyusui harus berhati-hati dalam hal makanan terutama kalau sedang mengkonsumsi obat.
D. EFEK DARI ZAT BERACUN (TOKSIK)
Tingkat toksisitas bahan tersebut tergantung pada jalan masuknya, durasi atau lamanya terpapar dan reaksi tubuh terhadap bahan tersbut, efeknya semakin meningkat. Berdasarkan efeknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. lama efek akut atau kronis
efek akut adalah ketika ekspos bahan toksik pada dosis tunggal, efek terjadi secara tiba-tiba atau cepat setalah bahan tersebut terkspos ke dalam tubuh. Ekspos dalam jumlah yang besar, akan menyebabkan iritasi, kesakitan, yang lebih ekstrim adalah dapat menyebabkan kematian. Efek kronis adalah ketika ekspos bahan toksik pada dosis ganda dan pada periode waktu yang panjang. Reaksi dapat terlihat setelah lama terekspos. Beberapa efek kronis seperti kanker, dapat terjadi dalam kurun waktu 20 – 30 tahun setelah terjadi ekspos.
2. tempat terjadinya aksi efek lokal atau sistemik
efek lokal adalah efek toksik yang terjadi pada titik singgung dengan tubuh. Umumnya terjadi gejala iritasi atau korosif bahan. Efek sistemik adalah bahan toksik yang telah terabsorbsi ke dalam tubuh dan disitribusikan melalui aliran darah masuk ke dalam organ. Organ yang diberi efek antara lain yaitu hepatoksin, neprotoksin, neurotoksin, haeotoksin, imunotoksin, pulmonotoksin. Respon yang dihasilkan antara lain : kanker, kegagalan kelahiran, mutasi, iritasi, mati lemas dan sebagainya.
3. organ yang terkena efek
4. respon yang dihasilkan
E. EFEK TOKSIK PADA TUBUH
Efek toksik pada organ tubuh manusia, dapat dibagi menjadi :
1. Lokal dan Sistemik
Lokal : bahan yang bersifat korosif, iritatif
Sistemik : terjadi setelah bahan kimia masuk, diserap dan distribusikan ke tubuh
Konsentrasi bahan berbahaya tidak selalu paling tinggi dalam target organ (ex. Target organ methyl merkuri adalah otak, tapi konsentrasi tertinggi ada di hati dan ginjal, DDT target organnya adalah susunan pusat syaraf pusat tapi konsentrasi tertinggi pada jaringan lemak)
2. Efek yang reversible dan irreversible
Reversible : bila efek yang terjadi hilang dengan dihentikannya paparan bahan berbahaya. Biasanya konsentrasi masih rendah dan waktu singkat.
Irreversible : bila efek yang terjadi terus menerus bahkan jadi parah walau pajanan telah dihentikan (ex. Karsinoma, penyakit hati), biasanya konsentrasi tinggi dan waktu lama
3. Efek langsung dan tertunda
efek langsung : segera terjadi setelah pajanan (ex. Sianida)
efek tertunda : efek yang terjadibeberapa waktu setelah pajanan (efek karsinogenik)
4. Reaksi alergi dan idiosynkrasi
Reaksi alergi (hipersensitivitas) terjadi karena adanya sensitisasi sebelumnya yang menyebabkan dibentuknya antibodi oleh tubuh
Reaksi Idiosynkrasi : merupakan reaksi tubuh yang abnormal terhadap karena genetik (ex. Kekurangan enzim succynicholin)
F. ANALISIS/ UJI TOKSISITAS
Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 pasal 6 disebutkan bahwa limbah B-3 dapat diidentifikasi menurut sumber atau uji karakterisasi atau uji toksisitas. Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau kronik limbah. Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun di lingkungan. Toksisitas akut terjadi pada dosis tinggi, waktu pemaparan pendek dengan efek parah dan mendadak, dimana organ absorpsi dan eksresi yant terkena. Sedangkan toksisitas kronis terjadi pada dosis tidak tinggi pemaparan menahun, gejala tidak mendadak atau gradual, intensitas efek dapat parah/ tidak. Jenis uji yang digunakan tergantung pada penggunaan zat kimia dan manusia yang terpapar.
Uji toksisitas dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Uji toksisitas kualitatif misalnya dilihat dari segi organ yang terkena racun, misalnya hati, ginjal, sistem saraf dll. Uji toksisitas kualitatif dapat juga dilihat dari gejala yang timbul mekanisme racun terhadap organ mulai pada tingkat selluler, ke tingkat jaringan, dan sampai pada tingkat organ, serta menimbulkan gejala – gejala fibrosis, granuloma, karsinogenik, teratogenik dll. Dan banyak lagi zat kimia dalam betuk logam dan non logam yang juga dapat menyebabkan efek seperti disebut di atas. Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas akut, sub-akut, kronis. Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/multipel dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat, biasanya reversibel. Toksisitas kronis sifatnya permanen, lama, konstan, kontinu, irreversibel
Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas akut/ kronis. Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar, kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi dari usia, jenis kelamin, berat badan, portal of entry, frekuensi, interval waktu, kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Terdapat beberapa istilah mengenai dosis yaitu yang umum digunakan adalah Lethal Dosis (LD) : yaitu dosis yang mematikan X % hewan uji dengan satuan berat/berat badan. Dikenal LD10, LD50, LD100, Min LD dan Dosis Therapheutik yaitu dosis yang tepat untuk pengobatan. atau dapat juga dilihat dari konsentrasi LC10, LC5O, LC100. Di dalam PP 18 tahun 1999 dikatakan bahwa limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metoda toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan yaitu 15 g/kg berat badan. Sedangkan dalam PP No 85 tahun 1999 dikatakan bahwa bila nilai LD50 secara oral lebih besar dari 50 mg/kg berat badan, maka terhadap limbah yang mengandung salah satu zat pencemar pada lampiran III PP tersebut harus dilakukan evaluasi sifat kronis, yaitu mutagenisitas, karsinogenisitas, teratogenisitas.
Uji toksisitas biasanya dilakukan dengan menggunakan hewan uji seperti mencit, tikus, kelinci, monyet dan anjing. Pemilihan hewan uji tergantung pada jenis toksikannya dan ketersediaan dana. Setelah diperoleh hasil uji toksisitas, untuk dapat diketahui efeknya terhadap manusia, maka perlu dilakukan extrapolasi.
Klasifikasi toksisitas pada jalur masuk substansi kimia secara oral :
a. Sangat beracun, jika LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 25 mg/kg (bobot badan)
b. Beracun, jika LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 200 mg/kg dan lebih besar daripada 25 mg/kg (bobot badan)
c. Berbahaya, jiak LD50 (oral, tikus) kurang dari atau sama dengan 2000 mg/kg dan lebih besar daripada 200 mg/kg (bobot badan)
Klasifikasi toksisitas pada jalur masuk substansi kimia secara dermal
d. Sangat beracun, jika LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 50 mg/kg (bobot badan)
e. Beracun, jika LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 400 mg/kg dan lebih besar daripada 50 mg/kg (bobot badan)
f. Berbahaya, jiak LD50 (dermal, tikus atau kelinci) kurang dari atau sama dengan 2000 mg/kg dan lebih besar daripada 400 mg/kg (bobot badan)
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Press. Yogyakarta.
Anonim. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta.
-----. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta.
Henry, J. G. and G. W. Heinke. 1996. Environmental Science and Engineering. Prentice-Hall International, Inc., New Jersey.
http://hiperkes.wordpress.com/2008/03/29/toksikologi-industri/ diakses pada tanggal 27 April 2009.
Indrasti, S Nastiti. 2005. Toksikologi/Ekotoksikologi. Modul Pelatihan Manajemen Bahan Berbahaya dan Beracun, 27 – 30 Juni 2005. Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan. Dep TIN-IPB. Bogor.
Mansyur. 2002. Toksikologi : Keamanan, Unsur dan Bidang-bidang Toksikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nathanson, Jerry. 1997. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste Management and Pollution Control. Prentice-Hall. New Jersey.
Oginawati, K. 2002. Konsep Ekotoksikologi Limbah B3 dan Kesehatan. Departemen Teknik Lingkungan ITB. Bandung.
Sudarmaji, J.Mukono, Corie I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2 Nomor 2, Januari 2006, Halaman 129 – 142.
Penulis : Angga Yuhistira (Mahasiswa Pasca Sarjana TIP-IPB) ditulis sebagai laporan tugas Mata Kuliah Teknologi Pengolahan Limbah Padat dan B3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar